Jumat, 13 Oktober 2017

Aku dan Bapakku.


Aku dan Bapakku tidak begitu dekat, Aku lebih dekat dengan Ibuku. Sewaktu masih kecil, Bapakku bekerja di luar kota sebagai tukang bagunan, bukan jenis pekerjaan yang bisa kubanggakan di depan teman-temanku. Aku bahkan selalu diledek oleh teman-temanku yang mengatakan kalau Bapakku kawin lagi. Mungkinkah karena itu Bapak tidak tinggal dengan kami. Waktu itu aku selalu menangis dan mengadu kepada Ibu. Tapi Ibu selalu berkata bahwa Bapak tidak kawin lagi. Dia hanya mencari nafkah untuk membiayai kehidupan kami.

Aku tinggal dengan Ibu dan adik laki-lakiku yang berumur 6 tahun lebih muda. Meskipun kami tidak tinggal bersama Bapak, namun kami hidup bahagia. Kami memang tidak kaya, namun tidak terlalu miskin. Ibu selalu memanjakan kami dan mengabulkan semua permintaan kami. Mungkin karena waktu itu kami tinggal di kampung, yang standar biaya hidupnya masih rendah, membuatku tidak sadar kalau sebenarnya kami cukup miskin. Kami sangat menyayangi Ibu, beliau tidak pernah marah ataupun membentak kami, meskipun kadang kami membuatnya kesal. Dialah Ibu terbaik di dunia.

Meskipun Bapak hanya pulang sebulan sekali, Aku justru tidak begitu suka ketika Bapak ada di rumah.  Bapak biasa tinggal di rumah sekitar 2 atau 3 hari, namun pada saat itu, Aku dan adikku lebih sering bermain di luar rumah daripada menghabiskan waktu bersama Bapak. Bapak selalu menghukum kami kalau kami tidak sholat berjamaah di masjid dan membangunkan dengan mencipratkan air ke muka kami agar bisa bangun pagi dan sholat subuh berjamaah di mesjid.

Ibuku meninggal ketika aku baru masuk kuliah, sementara adikku masih kelas 1 SMP. Beliau meninggal karena mengalami kecelakaan sepeda motor bersama Bapak. Saat itu, aku sangat sedih dan berharap kalau Bapakku lah yang meninggal. Aku sedih karena belum bisa membahagiakan dan berbakti kepada Ibu. Sementara kalau Bapak meninggal, aku rasa tidak akan begitu berpengaruh terhadap kehidupanku. Bisa kuliahpun karena mendapatkan beasiswa, bukan dibiayai oleh Bapak. Semenjak itu, aku semakin jarang berkomunikasi dengan Bapak. Karena uang beasiswa dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan mampu membayar uang kuliah, Aku tidak pernah sekalipun meminta uang pada Bapak.

Setelah Ibu meninggal, adikku tinggal bersama Bibi, adik Bapak. Bapak masih tinggal di luar kota dan mengirimkan uang untuk kebutuhan adikku. Aku juga jarang berkomunikasi dengan Adikku karena aku sudah asik dengan dunia perkuliahan. Bahkan Saat libur pun aku jarang pulang ke rumah. Aku lebih suka tinggal di kosan dan menjadi penjaga kosan ketika yang lain mudik. Pada dasarnya, Aku sudah tidak punya rumah untuk pulang. Rumah yang kutinggali dulu bersama Ibu dan Adikku, kini sudah dikontrakan.

Aku merasa hidup bagai sebatang kara, bahagia karena sudah bisa hidup mandiri dan tidak merepotkan orang lain. Aku jarang menelpon Bapakku, karena tidak tahu apa yang akan kubicarakan. Bapak biasanya yang meneleponku, menanyakan apakah aku membutuhkan tambahan uang atau tidak. Kalau seperti itu, aku biasanya bilang kalau aku sedang butuh uang. Bapak pun akan mengirimkan uang, meskipun jumlahnya tidak seberapa, lumayan untuk tambahan baiya hidup sehari-hari. Tapi aku tidak pernah sekalipun memintanya. Kalau pun dia mau memberika uang, tentu aku terima. Itu sudah menjadi kewajibannya untuk membiayai anaknya.

Saat liburan semester empat, Bapakku mendadak sakit. Penglihatannya kini mulai memburuk. Menurt informasi dari dokter, syaraf matanya ada yang putus sehingga dia tidak bisa melihat dengan jelas. Setelah mencoba berbagai pengobatan alternatif, akhirnya Bapak menyerah dengan kondisi matanya. Menurut pengakuan Bapak, dia masih bisa melihat namun hanya sebatas bayangan saja. Akupun tidak begitu mengerti maksudnya. Yang jelas, ketika kami berbincang, padangan Bapak kadang melihat ke arah lain. Bahkan saat kami bertatap muka, dia tidak bisa langsung mengenaliku. Setelah aku berbicara, dia baru mengenaliku. Kondisi seperti itu, membuatku merasa Iba pada Bapak. Namun tidak begitu banyak mengubah hubungan kami yang masih renggang.

Setelah pulang sekitar satu minggu, aku kembali lagi pada kehidupan kampus. Menurut Informasi dari Bibi, sekarang Bapak tinggal di rumah lama kami, dia bersikeras untuk tinggal sendiri. Sedangkan adikku masih tinggal bersama Bibiku karena jarak rumah kami ke sekolah Adiku lumayan jauh. Setelah lulus SMP, adikku berhasil mendapatkan beasiswa full SMA bagi kaum duafa dan tinggal di asrama.

Karena penglihatannya kurang baik, kini Bapak bekerja sebagai penambang pasir. Jenis pekerjaan yang lebih kasar dari tukang bangunan. Nanum tidak memerlukan ketelitian karena tinggal mengumpulkan pasir, mengayaknya, lalu menjualnya. Meskipun begitu, menjadi penambang pasir membuat Bapak harus bejemur sinar matahari setiap hari. Kata Bibi, kini bapak semakin kurus dan hitam legam. Aku yang tidak bisa berbuat banyak hanya bisa mendengarkan penjelasan Bibi karena tidak tahu harus berkata apa.

Setelah lulus kulaih, barulah aku pulang ke rumah. Itupun untuk mengurus segala keperluan untuk melamar pekerjaan. Tinggal bersama Bapak di rumah lama kami yang penuh kenangan bersama Ibu, membuatku kurang nyaman karena Di dalam lubuk hati, aku masih menyalahkan bapak atas kematian Ibu. Rumah itu kini terasa sempit, tidak seluas dulu ketika masih kanak-kanak. Aku pun tidak betah berlama-lama di rumah dan lebih suka menghabiskan berkumpul dengan teman masa kecilku.

Aku sempat mengajar selama enam bulan di Sekolah swasta sebelum akhirnya lulus ujian seleksi CPNS dan menjadi guru SD di salah satu sekolah di Kota yang berbeda dengan kota kelahiranku. Menjadi guru SD ternyata tidak seringan dugaanku. Masuk pagi sampai sore, dari hari senin sampai sabtu. Kadang pekerjaan yang belum selesai di sekolahpun kubawa pulang dan kukerjakan di kosan. Aku memang suka membantu siapapun yang meminta pertolongan yang pada akhirnya malah membuatku keteteran mengerjakan tugas utamaku.

Sudah dua tahun lebih aku tidak pulang ke rumah, menemui Bapak, adik, ataupun saurdara yang lain. Sedang adikku kini kuliah di kota yang sama denganku. Kadang dia datang ke kosanku kalau sedang butuh uang. Meskpiun dia mendapatkan beasiswa, bahkan lebih besar dari beasiswa yang kurteima semasa kuliah dulu. Namun dia masih saja selalu kekurangan uang. Kulihat dia sudah mampu mebeli laptop dan smartphone. Beruntung sekali dia, padalaha aku baru mampu membeli laptop ketika sudah bekerja. Semasa kuliah, aku hanya bisa meminjam komputer teman atau pergi ke rental komputer untuk mengerjakan tuga. Tapi dialah adikku satu-satunya, kalau bukan aku yang membantunya, lantas siapa lagi. Adiku masih sering pulang kampung. Karena dia dulu 3 tahun tinggal dengan Bibi, dia lebih dekat dengan Bibi dan saudara lainnya. Sedangkan aku, yang dulu sewaktu tinggal dengan Ibu, jauh dari rumah keluarga Bapak ataupun Ibu. Ibu pun jarang membawa kami ke rumah saudaranya. Hanya di hari raya saja kami berkunjung.

Kadang Adiku mengingatkanku kalau aku masih punya saudara di kampung. Sekali-kali dia mengajakku pulang bareng, namun aku selalu mengelaknya. Aku hanya merasa canggung saja apabila harus menginap di rumah saudara karena kami tidak begitu dekat. Sedangkan kalau menginap di rumah bapak, aku tidak betah. Maka aku hanya bisa membuat banyak alasan agar tidak pulang. Begitupun pada saat itu, adiku mengajak pulang karena dia sedang libur semester. Sedangkan aku yang tidak bisa cuti semaunya, hanya bisa membekalinya uang untuk pulang tanpa ikut serta bersamanya.

Tengah malam, aku mengdengar telepon dari Adikku. Tidak biasanya dia telpon malam-malam. Rupanya dia memberi kabar kalau Bapak sedang di rawat di rumah sakit karena mengalami kecelakaan sepeda motor. Saat itu kondisinya sangat menghawatirkan. Dia memintaku pulang secepatnya, khawatir kalau aku tidak akan punya kesempatan lagi bertemu dengan Bapak. Karena sudah tengah malam, bis juga sudah jarang ada yang lewat, maka kuputuskan setelah subuh akan pulang.

Menjelang tengah hari aku baru sampai terminal di kampung halamanku. Aku langsung menuju rumah sakit umum seperti yang diberitahukan Adiku. Bapakku dirawat di ruangan biasa berisi 6 orang pasien. Dari pintu kulihat Bapak sedang terbaring lemas dengan luka di wajah. Kaki kananya di gips, mungkin patah. Sedangkan tangannya, hanya menderita luka luar saja yang dienuhi betdin dan lukanya tampak mulai mongering. Benar kata Bibi, kini kulit Bapak mulai keriput dan hitam legam akibat terlalu sering terkena sinar matahari. Badannya sangat kurung seperti kekurangan gizi. Tadinya aku mengira kalau bapak sudah sakaratul maut, meregang nayawa mendekati ajalnya. Namun melihat kondisinya seperti itu, aku menduga dia masih bisa bertahan gidup. Rupanya adiku mulai pandai berakting, pikirku. Kalau dia tidak berbohong, mungkin aku tidak akan pulang. Lalu dengan basa-basi aku mendekat, mencium tangannya dan menanyakan bagaimana kondisinya. Adiku lalu keluar memberikan waktu bagiku dan Bapak untuk berbincang lebih lama.

Melihat kondisi bapak yang sudah sakit parahpun, aku tidak merasa tergugah sama sekali. Tidak ada air mata yang kuteteskan. Aku hanya bersikap biasa seperti saat aku menjenguk orang lain. Dalam pikiranku malah menghitung berapa biaya yang harus kukeluarkan untuk membiayai perawatan Bapak. Apakah hatiku sudah begitu bekunya sehingga tidak ada rasa kasihan dan penyesalan karena belum berbakti kepada Bapak. Akupun tidak tahu, yang jelas aku sudah lama tidak bersedih semenjak kepergian Ibu. Mungkin kalau Bapak meninggal, aku akan bersedih. Sungguh pikiran yang picik sekali, aku hanya bisa beristighfar.

Setelah berbincang basa-basi dengan Bapak, aku segera keluar. Bau ruangan pengap, yang diisi oleh enam orang pasien membuatku kurang nyaman. Di luar aku bertemu dengan Paman, suami Bibi adik Bapak. Melihat ku yang kurang menampakan kesedihan, dia mengajakku berbicara dari hati ke hati. Dia tahu kalau aku masih belum memaafkan Bapak semenjak kehilangan Ibu. Meskpiun begitu, dia menjelaskan bahwa seorang anak yang shaleh haruslah berbakti kepada orang tuanya, tidak peduli orang tuangya berbuat baik ataupun buruk. Apalagi Bapakku termasuk orang baik di matanya. Bapak tidak pernah meninggalkan sholat berjamaah di masjid, mau bekerja keras, tanpa pernah meminta-minta. Kalau aku mau menjadi anak yang saleh, sekaranglah watu yang tepat untuk menunjukan pengabdianku. Sebenarnya sudah seminggu lebih Bapak dirawat di rumah sakit, namun dia tidak mau memberitahu kami karen waktu itu dia tahu kalau adikku sedang ujian semester dan tidak mau merepotkanku.

Paman menjelaskan bahwa kehidupan Bapak sangat sulit. Pengahasilan dari menambang pasir tidaklah besar. Aplagi saat musim hujan, bapak tidak bisa menghasilkan uang. Usia bapak yang sudah tua renta dan matanya yang sudah tidak normal membuat Bapak tidak bisa mencari pekerjaan lain. Paman bertanya apakah aku suka memberikan uang pada Bapak. Akupun menjawab kalau bapak tidak minta maka akupun tidak akan memberinya uang. Paman Nampak sangat kecewa terhadap jawabanku. Tidak sepatutnya aku berbuat seperti itu. Keluarga kami tidak pernah mendidik anak menjadi anak yang durhaka. Paman memintaku untuk merenungkan semua kejadian yang pernah kualami. Apakah Bapak layak mendapat perlakuan seperti itu dari anaknya sendiri. Dia juga memberitahukan kalau selama ini bapak banyak berhutang kepadanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Total hutang dengan biaya rumah sakit mencapai 30 juta. Aku tidak diminta untuk membayar hutangnya. Kalau aku tidak mau mebayarnya, biarlah itu menjadi amal ibadah Paman dan Bibi yang sudah membatu saudaranya. Dan bapak berniat embayar hutangnya dengan menjual rumahnya kalau dia meninggal nanti. Tapi apabila aku mau mebayarnya, maka anggaplah itu sebagai salah satu bukti bahwa aku anak yang berbakti kepada orang tua.

Mendengan penjelasan paman, aku hanya bisa diam. Sepertinya sudah bukan rahasia kalau aku bukan anak yang berbakti. Mereka pun tahu kalau aku masih menyimpan amarah pada Bapak atas kepergian Ibu.

Malam itu, aku tingal di rumah sakit menggantikan adiku yang semalam berjaga. Takut dibilang anak durhaka, aku menawarkan diri untuk menjaga Bapak malam itu. Kerena lelah setelah melewati perjalanan jauh, akupun tertidur lebih awal di bawah ranjang Bapak. Aku terbangun pukul 2 pagi. Kondisi kamar yang pengap membuatku tidak bisa tidur lagi. Sambil jalan-jalan akupun melewati muhola. Rasanya sudah lama aku tidak sholat malam meminta petunjuk pada Allah. Biasanya aku sholat malam begitu menginginkan sesuatu. Namun kini, setelah mendengar ucapan paman, aku ingin meminta petunjuk dan mohon ampunan kalau selama ini aku telah menjadi anak yang durhaka. Maka akupun berwudhu dan melakukan sholat malam 2 rakaat.

Setelah selesai sholat, aku berdzikir lalu bedoa. Sayangnya aku sudah lama tidak sholat malam sehingga sudah lupa doa sholat tahajud. Maka aku hanya memanjatkan doa dalam bahasa Indonesia. Aku meminta petunjuk kepada Allah, semoga hatiku diberi kelapangan untuk memaafkan Bapak, semoga Allah mau mengampuni segala dosa dan perbuatan yang pernah kualami, semoga Allah mengampuniku yang telah menjadi anak yang durhaka. Ketika biasanya aku meminta untuk urusan dunia, untuk diriku sendiri. Saat itu aku bedoa untuk Bapakku. Semoga Bapak diberikan kesehatan dan kebahagiaan. Smoga Bapak mau mmemaafkanku. Aku juga berdoa semoag Ibu dilapangkan kuburnya, diampuni segala dosanya, dijauhkan dari siksa kubur, dan medapat syafaat dari Rosulullah SAW di akhirat kelak.

Tanpa terasa, air mataku bercucuran. Selama ini Aku selalu menyalahkan Bapak atas kematian Ibu. Padahal Aku tidak tahu apa yang Bapak alami, mungkin saja selama ini Bapak lah yang lebih menderita karena kepergian Ibu. Bapak harus menanggung penyesalan karena Ibu meninggal karena kesalahannya.

Lalu kusadari bahwa umur manusia itu sudah ditetapkan Allah. Manusia tidak bisa menentukan kapan dirinya akan mati. Lalu untuk apa semua kebencian yang selama ini kutujukan pada Bapak. Akupun semakin menyesal dengan perbuatanku yang tidak terpuji ini.

Aku tidak bisa membahagiakan dan membalas semua kebaikan Ibu semasa Ibu hidup.  Aku seolah lupa bahwa doa anak yang sholeh tidak akan putus amalannya sampai akhirat. Akupun jarang mendoakan Ibu dengan tulus dan sungguh-sungguh. Lalu apakah selama ini aku telah menjadi anak yang sholeh? Sepertinya belum. Maka akupun berdoa memohon ampun dan bertobat karena selama ini kadang lalai dalam menjalankan ibadah. Penyesalanku yang semakin dalam mebuat hatiku sakit dan air matapun terus berjatuhan setelah sekian lama mengering.

Aku jadi teringat masa kecil yang pernah kulalui bersama Bapak. Meskpiun Bapak jarang ada di rumah, tapi banyak kenangan manis bersama Bapak dan Ibu yang pernah kualami. Bukan salah bapak kalau kami hidup miskin. Bukan salah bapak kalau Ibu meninggal. Dan bukan salah Bapak kalau Aku menjadi anak yang durhaka.

Setelah berdoa, aku langsung menemui Bapak. Kucium kedua tangannya, meminta maaf darinya karena selama ini aku telah menjadi anak yang durhaka. Aku menangis tersedua, tidak peduli dengan tatapan orang lain yang terbangun dan merasa terganggu. Bapak nampak kaget, bangun dari tidurnya. Bapak mengatakan bahwa selama ini bapak sudah memaafkanku, aku tidak perlu meminta maaf katanya. Dia pun merasa bersalah atas semua hal yang telah terjadi. Bapak minta maaf kalau selama ini Bapak belum menjadi orang tua yang baik, belum bisa membahagiakan anak-anaknya, dan belum menjadi panutan.    

Hari itu seolah menjadi titik balik dalam kehidupanku. Akupun merasa lega karena pada akhirnya aku bisa berdamai dengan diriku sendiri dan memaafkan Bapak. Aku menemui paman dan berniat untuk meluniasi hutang Bapak dan membiayai semua tagihan rumah sakit. Aku mengucapkan banyak terimakasih karena selama ini sudah merawat Bapak dan mengucapkan permohonan maaf karena selama ini Aku seolah menjauh dari keluarga.


Setelah kukabari pihak sekolah, aku mengambil cuti selama seminggu untuk bisa merawat Bapak. Lima hari kemudian Bapak sudah bisa keluar dari rumah sakit, namun harus berobat jalan. Selama berobat jalan, Bapak tinggal di rumah Bibi. Setelah dua bulan, Bapak sudah bisa beraktivitas lagi. dan bersikeras untuk tetap bekerja karena dia tidak mau hidup bagaikan pengemis yang hanya meminta bantuan orang lain. Kuhargai keputusan bapak, namun kini aku rutin mengiriminya uang sebagai tambahan untuk memenuhi kebutuhannya. Aku juga sudah mulai sering menelepon nya, meski hanya sekedar menanyakan kabarnya.

1 komentar: