Aku dan Bapakku
tidak begitu dekat, Aku lebih dekat dengan Ibuku. Sewaktu masih kecil, Bapakku bekerja
di luar kota sebagai tukang bagunan, bukan jenis pekerjaan yang bisa
kubanggakan di depan teman-temanku. Aku bahkan selalu diledek oleh teman-temanku
yang mengatakan kalau Bapakku kawin lagi. Mungkinkah karena itu Bapak tidak
tinggal dengan kami. Waktu itu aku selalu menangis dan mengadu kepada Ibu. Tapi
Ibu selalu berkata bahwa Bapak tidak kawin lagi. Dia hanya mencari nafkah untuk
membiayai kehidupan kami.
Aku tinggal
dengan Ibu dan adik laki-lakiku yang berumur 6 tahun lebih muda. Meskipun kami
tidak tinggal bersama Bapak, namun kami hidup bahagia. Kami memang tidak kaya,
namun tidak terlalu miskin. Ibu selalu memanjakan kami dan mengabulkan semua
permintaan kami. Mungkin karena waktu itu kami tinggal di kampung, yang standar
biaya hidupnya masih rendah, membuatku tidak sadar kalau sebenarnya kami cukup
miskin. Kami sangat menyayangi Ibu, beliau tidak pernah marah ataupun membentak
kami, meskipun kadang kami membuatnya kesal. Dialah Ibu terbaik di dunia.
Meskipun Bapak
hanya pulang sebulan sekali, Aku justru tidak begitu suka ketika Bapak ada di
rumah. Bapak biasa tinggal di rumah sekitar
2 atau 3 hari, namun pada saat itu, Aku dan adikku lebih sering bermain di luar
rumah daripada menghabiskan waktu bersama Bapak. Bapak selalu menghukum kami
kalau kami tidak sholat berjamaah di masjid dan membangunkan dengan
mencipratkan air ke muka kami agar bisa bangun pagi dan sholat subuh berjamaah
di mesjid.
Ibuku
meninggal ketika aku baru masuk kuliah, sementara adikku masih kelas 1 SMP.
Beliau meninggal karena mengalami kecelakaan sepeda motor bersama Bapak. Saat
itu, aku sangat sedih dan berharap kalau Bapakku lah yang meninggal. Aku sedih
karena belum bisa membahagiakan dan berbakti kepada Ibu. Sementara kalau Bapak
meninggal, aku rasa tidak akan begitu berpengaruh terhadap kehidupanku. Bisa
kuliahpun karena mendapatkan beasiswa, bukan dibiayai oleh Bapak. Semenjak itu,
aku semakin jarang berkomunikasi dengan Bapak. Karena uang beasiswa dapat
mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan mampu membayar uang kuliah, Aku tidak
pernah sekalipun meminta uang pada Bapak.
Setelah Ibu
meninggal, adikku tinggal bersama Bibi, adik Bapak. Bapak masih tinggal di luar
kota dan mengirimkan uang untuk kebutuhan adikku. Aku juga jarang berkomunikasi
dengan Adikku karena aku sudah asik dengan dunia perkuliahan. Bahkan Saat libur
pun aku jarang pulang ke rumah. Aku lebih suka tinggal di kosan dan menjadi penjaga
kosan ketika yang lain mudik. Pada dasarnya, Aku sudah tidak punya rumah untuk
pulang. Rumah yang kutinggali dulu bersama Ibu dan Adikku, kini sudah dikontrakan.
Aku merasa
hidup bagai sebatang kara, bahagia karena sudah bisa hidup mandiri dan tidak
merepotkan orang lain. Aku jarang menelpon Bapakku, karena tidak tahu apa yang
akan kubicarakan. Bapak biasanya yang meneleponku, menanyakan apakah aku
membutuhkan tambahan uang atau tidak. Kalau seperti itu, aku biasanya bilang kalau
aku sedang butuh uang. Bapak pun akan mengirimkan uang, meskipun jumlahnya tidak
seberapa, lumayan untuk tambahan baiya hidup sehari-hari. Tapi aku tidak pernah
sekalipun memintanya. Kalau pun dia mau memberika uang, tentu aku terima. Itu sudah
menjadi kewajibannya untuk membiayai anaknya.
Saat liburan
semester empat, Bapakku mendadak sakit. Penglihatannya kini mulai memburuk.
Menurt informasi dari dokter, syaraf matanya ada yang putus sehingga dia tidak bisa
melihat dengan jelas. Setelah mencoba berbagai pengobatan alternatif, akhirnya Bapak
menyerah dengan kondisi matanya. Menurut pengakuan Bapak, dia masih bisa
melihat namun hanya sebatas bayangan saja. Akupun tidak begitu mengerti
maksudnya. Yang jelas, ketika kami berbincang, padangan Bapak kadang melihat ke
arah lain. Bahkan saat kami bertatap muka, dia tidak bisa langsung mengenaliku.
Setelah aku berbicara, dia baru mengenaliku. Kondisi seperti itu, membuatku
merasa Iba pada Bapak. Namun tidak begitu banyak mengubah hubungan kami yang
masih renggang.
Setelah
pulang sekitar satu minggu, aku kembali lagi pada kehidupan kampus. Menurut
Informasi dari Bibi, sekarang Bapak tinggal di rumah lama kami, dia bersikeras
untuk tinggal sendiri. Sedangkan adikku masih tinggal bersama Bibiku karena
jarak rumah kami ke sekolah Adiku lumayan jauh. Setelah lulus SMP, adikku
berhasil mendapatkan beasiswa full SMA bagi kaum duafa dan tinggal di asrama.
Karena
penglihatannya kurang baik, kini Bapak bekerja sebagai penambang pasir. Jenis
pekerjaan yang lebih kasar dari tukang bangunan. Nanum tidak memerlukan
ketelitian karena tinggal mengumpulkan pasir, mengayaknya, lalu menjualnya.
Meskipun begitu, menjadi penambang pasir membuat Bapak harus bejemur sinar
matahari setiap hari. Kata Bibi, kini bapak semakin kurus dan hitam legam. Aku
yang tidak bisa berbuat banyak hanya bisa mendengarkan penjelasan Bibi karena
tidak tahu harus berkata apa.
Setelah
lulus kulaih, barulah aku pulang ke rumah. Itupun untuk mengurus segala
keperluan untuk melamar pekerjaan. Tinggal bersama Bapak di rumah lama kami
yang penuh kenangan bersama Ibu, membuatku kurang nyaman karena Di dalam lubuk
hati, aku masih menyalahkan bapak atas kematian Ibu. Rumah itu kini terasa
sempit, tidak seluas dulu ketika masih kanak-kanak. Aku pun tidak betah
berlama-lama di rumah dan lebih suka menghabiskan berkumpul dengan teman masa
kecilku.
Aku sempat
mengajar selama enam bulan di Sekolah swasta sebelum akhirnya lulus ujian
seleksi CPNS dan menjadi guru SD di salah satu sekolah di Kota yang berbeda
dengan kota kelahiranku. Menjadi guru SD ternyata tidak seringan dugaanku.
Masuk pagi sampai sore, dari hari senin sampai sabtu. Kadang pekerjaan yang
belum selesai di sekolahpun kubawa pulang dan kukerjakan di kosan. Aku memang
suka membantu siapapun yang meminta pertolongan yang pada akhirnya malah
membuatku keteteran mengerjakan tugas utamaku.
Sudah dua
tahun lebih aku tidak pulang ke rumah, menemui Bapak, adik, ataupun saurdara
yang lain. Sedang adikku kini kuliah di kota yang sama denganku. Kadang dia
datang ke kosanku kalau sedang butuh uang. Meskpiun dia mendapatkan beasiswa,
bahkan lebih besar dari beasiswa yang kurteima semasa kuliah dulu. Namun dia
masih saja selalu kekurangan uang. Kulihat dia sudah mampu mebeli laptop dan
smartphone. Beruntung sekali dia, padalaha aku baru mampu membeli laptop ketika
sudah bekerja. Semasa kuliah, aku hanya bisa meminjam komputer teman atau pergi
ke rental komputer untuk mengerjakan tuga. Tapi dialah adikku satu-satunya, kalau
bukan aku yang membantunya, lantas siapa lagi. Adiku masih sering pulang kampung.
Karena dia dulu 3 tahun tinggal dengan Bibi, dia lebih dekat dengan Bibi dan
saudara lainnya. Sedangkan aku, yang dulu sewaktu tinggal dengan Ibu, jauh dari
rumah keluarga Bapak ataupun Ibu. Ibu pun jarang membawa kami ke rumah
saudaranya. Hanya di hari raya saja kami berkunjung.
Kadang Adiku
mengingatkanku kalau aku masih punya saudara di kampung. Sekali-kali dia
mengajakku pulang bareng, namun aku selalu mengelaknya. Aku hanya merasa
canggung saja apabila harus menginap di rumah saudara karena kami tidak begitu
dekat. Sedangkan kalau menginap di rumah bapak, aku tidak betah. Maka aku hanya
bisa membuat banyak alasan agar tidak pulang. Begitupun pada saat itu, adiku
mengajak pulang karena dia sedang libur semester. Sedangkan aku yang tidak bisa
cuti semaunya, hanya bisa membekalinya uang untuk pulang tanpa ikut serta
bersamanya.
Tengah
malam, aku mengdengar telepon dari Adikku. Tidak biasanya dia telpon malam-malam.
Rupanya dia memberi kabar kalau Bapak sedang di rawat di rumah sakit karena
mengalami kecelakaan sepeda motor. Saat itu kondisinya sangat menghawatirkan.
Dia memintaku pulang secepatnya, khawatir kalau aku tidak akan punya kesempatan
lagi bertemu dengan Bapak. Karena sudah tengah malam, bis juga sudah jarang ada
yang lewat, maka kuputuskan setelah subuh akan pulang.
Menjelang
tengah hari aku baru sampai terminal di kampung halamanku. Aku langsung menuju
rumah sakit umum seperti yang diberitahukan Adiku. Bapakku dirawat di ruangan
biasa berisi 6 orang pasien. Dari pintu kulihat Bapak sedang terbaring lemas
dengan luka di wajah. Kaki kananya di gips, mungkin patah. Sedangkan tangannya,
hanya menderita luka luar saja yang dienuhi betdin dan lukanya tampak mulai mongering.
Benar kata Bibi, kini kulit Bapak mulai keriput dan hitam legam akibat terlalu
sering terkena sinar matahari. Badannya sangat kurung seperti kekurangan gizi. Tadinya
aku mengira kalau bapak sudah sakaratul maut, meregang nayawa mendekati
ajalnya. Namun melihat kondisinya seperti itu, aku menduga dia masih bisa
bertahan gidup. Rupanya adiku mulai pandai berakting, pikirku. Kalau dia tidak
berbohong, mungkin aku tidak akan pulang. Lalu dengan basa-basi aku mendekat,
mencium tangannya dan menanyakan bagaimana kondisinya. Adiku lalu keluar
memberikan waktu bagiku dan Bapak untuk berbincang lebih lama.
Melihat
kondisi bapak yang sudah sakit parahpun, aku tidak merasa tergugah sama sekali.
Tidak ada air mata yang kuteteskan. Aku hanya bersikap biasa seperti saat aku
menjenguk orang lain. Dalam pikiranku malah menghitung berapa biaya yang harus
kukeluarkan untuk membiayai perawatan Bapak. Apakah hatiku sudah begitu bekunya
sehingga tidak ada rasa kasihan dan penyesalan karena belum berbakti kepada
Bapak. Akupun tidak tahu, yang jelas aku sudah lama tidak bersedih semenjak
kepergian Ibu. Mungkin kalau Bapak meninggal, aku akan bersedih. Sungguh
pikiran yang picik sekali, aku hanya bisa beristighfar.
Setelah
berbincang basa-basi dengan Bapak, aku segera keluar. Bau ruangan pengap, yang
diisi oleh enam orang pasien membuatku kurang nyaman. Di luar aku bertemu
dengan Paman, suami Bibi adik Bapak. Melihat ku yang kurang menampakan
kesedihan, dia mengajakku berbicara dari hati ke hati. Dia tahu kalau aku masih
belum memaafkan Bapak semenjak kehilangan Ibu. Meskpiun begitu, dia menjelaskan
bahwa seorang anak yang shaleh haruslah berbakti kepada orang tuanya, tidak
peduli orang tuangya berbuat baik ataupun buruk. Apalagi Bapakku termasuk orang
baik di matanya. Bapak tidak pernah meninggalkan sholat berjamaah di masjid,
mau bekerja keras, tanpa pernah meminta-minta. Kalau aku mau menjadi anak yang
saleh, sekaranglah watu yang tepat untuk menunjukan pengabdianku. Sebenarnya
sudah seminggu lebih Bapak dirawat di rumah sakit, namun dia tidak mau
memberitahu kami karen waktu itu dia tahu kalau adikku sedang ujian semester
dan tidak mau merepotkanku.
Paman
menjelaskan bahwa kehidupan Bapak sangat sulit. Pengahasilan dari menambang
pasir tidaklah besar. Aplagi saat musim hujan, bapak tidak bisa menghasilkan
uang. Usia bapak yang sudah tua renta dan matanya yang sudah tidak normal
membuat Bapak tidak bisa mencari pekerjaan lain. Paman bertanya apakah aku suka
memberikan uang pada Bapak. Akupun menjawab kalau bapak tidak minta maka akupun
tidak akan memberinya uang. Paman Nampak sangat kecewa terhadap jawabanku.
Tidak sepatutnya aku berbuat seperti itu. Keluarga kami tidak pernah mendidik
anak menjadi anak yang durhaka. Paman memintaku untuk merenungkan semua
kejadian yang pernah kualami. Apakah Bapak layak mendapat perlakuan seperti itu
dari anaknya sendiri. Dia juga memberitahukan kalau selama ini bapak banyak
berhutang kepadanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Total hutang dengan biaya
rumah sakit mencapai 30 juta. Aku tidak diminta untuk membayar hutangnya. Kalau
aku tidak mau mebayarnya, biarlah itu menjadi amal ibadah Paman dan Bibi yang
sudah membatu saudaranya. Dan bapak berniat embayar hutangnya dengan menjual
rumahnya kalau dia meninggal nanti. Tapi apabila aku mau mebayarnya, maka
anggaplah itu sebagai salah satu bukti bahwa aku anak yang berbakti kepada
orang tua.
Mendengan
penjelasan paman, aku hanya bisa diam. Sepertinya sudah bukan rahasia kalau aku
bukan anak yang berbakti. Mereka pun tahu kalau aku masih menyimpan amarah pada
Bapak atas kepergian Ibu.
Malam itu,
aku tingal di rumah sakit menggantikan adiku yang semalam berjaga. Takut
dibilang anak durhaka, aku menawarkan diri untuk menjaga Bapak malam itu.
Kerena lelah setelah melewati perjalanan jauh, akupun tertidur lebih awal di
bawah ranjang Bapak. Aku terbangun pukul 2 pagi. Kondisi kamar yang pengap
membuatku tidak bisa tidur lagi. Sambil jalan-jalan akupun melewati muhola. Rasanya
sudah lama aku tidak sholat malam meminta petunjuk pada Allah. Biasanya aku
sholat malam begitu menginginkan sesuatu. Namun kini, setelah mendengar ucapan
paman, aku ingin meminta petunjuk dan mohon ampunan kalau selama ini aku telah
menjadi anak yang durhaka. Maka akupun berwudhu dan melakukan sholat malam 2
rakaat.
Setelah
selesai sholat, aku berdzikir lalu bedoa. Sayangnya aku sudah lama tidak sholat
malam sehingga sudah lupa doa sholat tahajud. Maka aku hanya memanjatkan doa
dalam bahasa Indonesia. Aku meminta petunjuk kepada Allah, semoga hatiku diberi
kelapangan untuk memaafkan Bapak, semoga Allah mau mengampuni segala dosa dan
perbuatan yang pernah kualami, semoga Allah mengampuniku yang telah menjadi
anak yang durhaka. Ketika biasanya aku meminta untuk urusan dunia, untuk diriku
sendiri. Saat itu aku bedoa untuk Bapakku. Semoga Bapak diberikan kesehatan dan
kebahagiaan. Smoga Bapak mau mmemaafkanku. Aku juga berdoa semoag Ibu
dilapangkan kuburnya, diampuni segala dosanya, dijauhkan dari siksa kubur, dan
medapat syafaat dari Rosulullah SAW di akhirat kelak.
Tanpa terasa,
air mataku bercucuran. Selama ini Aku selalu menyalahkan Bapak atas kematian Ibu. Padahal Aku tidak tahu apa yang Bapak alami, mungkin saja selama ini Bapak lah yang lebih menderita karena kepergian Ibu. Bapak harus menanggung penyesalan karena Ibu meninggal karena kesalahannya.
Lalu kusadari bahwa umur manusia itu sudah ditetapkan Allah. Manusia tidak bisa menentukan kapan dirinya akan mati. Lalu untuk apa semua kebencian yang selama ini kutujukan pada Bapak. Akupun semakin menyesal dengan perbuatanku yang tidak terpuji ini.
Aku tidak
bisa membahagiakan dan membalas semua kebaikan Ibu semasa Ibu hidup. Aku seolah lupa bahwa doa anak yang sholeh tidak akan putus amalannya sampai akhirat. Akupun jarang mendoakan Ibu
dengan tulus dan sungguh-sungguh. Lalu apakah selama ini aku telah
menjadi anak yang sholeh? Sepertinya belum. Maka akupun berdoa memohon ampun dan
bertobat karena selama ini kadang lalai dalam menjalankan ibadah. Penyesalanku
yang semakin dalam mebuat hatiku sakit dan air matapun terus berjatuhan setelah sekian
lama mengering.
Aku jadi
teringat masa kecil yang pernah kulalui bersama Bapak. Meskpiun Bapak jarang
ada di rumah, tapi banyak kenangan manis bersama Bapak dan Ibu yang pernah
kualami. Bukan salah bapak kalau kami hidup miskin. Bukan salah bapak kalau Ibu
meninggal. Dan bukan salah Bapak kalau Aku menjadi anak yang durhaka.
Setelah
berdoa, aku langsung menemui Bapak. Kucium kedua tangannya, meminta maaf
darinya karena selama ini aku telah menjadi anak yang durhaka. Aku menangis
tersedua, tidak peduli dengan tatapan orang lain yang terbangun dan merasa
terganggu. Bapak nampak kaget, bangun dari tidurnya. Bapak mengatakan bahwa
selama ini bapak sudah memaafkanku, aku tidak perlu meminta maaf katanya. Dia
pun merasa bersalah atas semua hal yang telah terjadi. Bapak minta maaf kalau
selama ini Bapak belum menjadi orang tua yang baik, belum bisa membahagiakan
anak-anaknya, dan belum menjadi panutan.
Hari itu
seolah menjadi titik balik dalam kehidupanku. Akupun merasa lega karena pada
akhirnya aku bisa berdamai dengan diriku sendiri dan memaafkan Bapak. Aku
menemui paman dan berniat untuk meluniasi hutang Bapak dan membiayai semua
tagihan rumah sakit. Aku mengucapkan banyak terimakasih karena selama ini sudah
merawat Bapak dan mengucapkan permohonan maaf karena selama ini Aku seolah
menjauh dari keluarga.
Setelah
kukabari pihak sekolah, aku mengambil cuti selama seminggu untuk bisa merawat
Bapak. Lima hari kemudian Bapak sudah bisa keluar dari rumah sakit, namun harus
berobat jalan. Selama berobat jalan, Bapak tinggal di rumah Bibi. Setelah dua
bulan, Bapak sudah bisa beraktivitas lagi. dan bersikeras untuk tetap bekerja
karena dia tidak mau hidup bagaikan pengemis yang hanya meminta bantuan orang
lain. Kuhargai keputusan bapak, namun kini aku rutin mengiriminya uang sebagai tambahan
untuk memenuhi kebutuhannya. Aku juga sudah mulai sering menelepon nya, meski hanya sekedar menanyakan kabarnya.
Kasih seorang bapak memang penuh misteri
BalasHapus